Senin, 12 Oktober 2009

Mengkaji Ulang Pendistribusian Zakat

Menjelang sepuluh hari terakhir ramadhan, aktifitas ibadah di bulan suci ini bertambah dengan ditunaikannya ibadah zakat, infak dan shodaqah. Ibadah tersebut sebagian besar ditunaikan oleh mereka yang mempunyai kecukupan dalam hal materi atau yang dalam bahasa agama -mereka, disebut dengan kaum aghniya'. Tuntunan ibadah tersebut, bukan saja sebuah anjuran melainkan menjadi sebuah kewajiban yang harus ditunaikan.
Menilik pelaksanaan zakat di bulan ramadhan dalam dua atau tiga tahun terakhir, kita sering dikejutkan adanya kejadian mengenaskan yang menimpa saudara kita para kaum dhu'afa yang harus berdesakan dan berhimpitan bahkan hingga jatuh korban demi sembako atau lembaran uang 10-20 ribu rupiah di depan rumah para aghniya'. Kejadian ini sering disebut sebagai "tragedi zakat", sebuah istilah yang sungguh ironis jika menilik hakikat makna zakat yang seharusnya menjadi kado indah bagi kaum dhu'afa di bulan ramadhan justru berbuah petaka.
Dalam sebuah kisah keteladanan, diceritakan sahabat Umar bin Khattab r.a. semasa menjadi khalifah tidak segan-segan memikul sendiri sekarung gandum dan membawanya sendiri (langsung) pada salah satu warganya yang tertimpa kelaparan. Apa yang dilakukan oleh khalifah Umar tersebut menunjukkan tidak saja ketulusan dan kerendahan hati seorang pemimpin, tetapi tergambarkan pula adanya bentuk jalinan silaturrahim antara pemimpin dan rakyatnya dan memutus jurang pembeda (dalam hal ini status sosial) antara keduanya.
Belajar dari bahasa agama yang digunakan dalam perintah zakat yang memakai kalimat "wa aatuu az-zakat" (Q.S. al-Baqarah ayat 110) yang berarti "dan tunaikanlah (berikanlah) zakat". Penggunaan kalimat perintah "berikanlah" dari asal kata memberi menunjukkan bahwa aktifitas memberi merupakan bentuk kerja aktif dari seorang yang memberi (pemberi zakat) kepada orang yang diberi (penerima zakat). Bahasa ini diperkuat pula dengan istilah yang digunakan dalam fiqh Islam yang memakai istilah "mustahik zakat" untuk menyebut mereka, orang yang berhak "menerima" zakat, yang dalam Q.S. al-Taubah ayat 60 disebutkan sebanyak delapan golongan. Bahasa agama tersebut jelas sekali menggambarkan bahwa jika kita ingin memberi maka kita harus merealisasikan aktifitas tersebut dengan pro aktif, dalam arti mencari dan mendatangi, mereka yang akan diberi.
Dengan demikian, aktifitas pembagian (pendistribusian) zakat, dalam hal ini yang dilakukan sendiri oleh Muzakki (orang yang berzakat) tanpa melalui lembaga 'Amil Zakat, yang dilakukan dengan menyuruh para kaum dhu'afa (mustahik zakat) untuk mendatangi rumah kaum aghniya' (muzakki) perlu dikaji ulang, tidak saja untuk menghindari musibah/tragedi tapi lebih pada upaya memenuhi tuntunan berzakat sesuai apa yang dikehendaki oleh bahasa agama. Ketika seorang mustahik zakat mendatangi rumah muzakki, maka yang terjadi bukan aktifitas memberi zakat oleh si kaya tapi lebih/justru pada aktifitas meminta zakat oleh si miskin, dan ini tentu bertentangan dengan tuntunan yang seharusnya. Tidak hanya itu, pemandangan membanjirnya para mustahik zakat di depan rumah muzakki (dengan aktifitas meminta tersebut) semakin mengestablishkan status sosial muzakki sebagai si kaya, sehingga pemandangan tersebut justru semakin memperkuat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin di negeri ini.
Untuk itu, kepada para aghniya' sekaligus muzakki, alangkah lebih afdhol dan indah jika mampu meneladani kisah khalifah Umar bin Khattab dan mengkaji kembali bahasa agama terkait perintah berzakat, dengan merubah sistem pendistribusian zakat, yang selama ini berlaku, dengan cara mendatangi langsung mereka, para mustahik/kaum dhu'afa. Niscaya, tidak saja keutamaan dan pahala zakat saja yang akan diterima tetapi juga keutamaan silaturrahim antara si kaya dan si miskin juga akan dituai, tentu kebahagiaan si miskin akan terlihat, tidak saja dari apa yang mereka terima tapi juga perasaan dihargai oleh si kaya yang berkenan mendatanginya, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin tak lagi menganga lebar. Dan kondisi ini merupakan salah satu esensi akan makna dan hikmah ramadhan, yang tidak saja menjadi momentum pembentukan kesalehan individu tetapi melahirkan pula kesalehan sosial.
Waallahu a'lam bisshowab

Menumbuhkan Sikap Tajdid dalam Diri Guru Muhammadiyah

Sistem pendidikan nasional kita dalam satu dasawarsa belakangan ini mengalami banyak perkembangan yang ditandai dengan banyaknya perubahan yang cukup drastis terhadap beberapa komponen pendidikan -khususnya di sekolah, seperti perubahan kurikulum, perubahan standar kualifikasi guru maupun perubahan sistem manajemen sekolah yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS). Perubahan-perubahan tersebut pada gilirannya menuntut kesiapan sekolah beserta sumber daya manusianya untuk menyesuaikan dan memenuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan demi peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Akan tetapi, dalam realitasnya tidak sedikit sekolah -khususnya sekolah Muhammadiyah, dan SDMnya merespon perubahan dengan sangat lambat bahkan cenderung enggan beranjak dari apa yang telah ada sebelumnya dengan berbagai alasan, seperti kesulitan dalam implementasinya, kurangnya dana maupun belum siapnya guru dan kepala sekolah sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan pendidikan di sekolah. Perubahan kurikulum misalnya, menuntut guru untuk mengupdate kemampuan dan ketrampilannya dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran. Akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak guru yang melaksanakan proses pembelajaran dengan metode-metode konvensional, bersifat teacher centered dan cenderung mengabaikan kreatifitas siswa dalam belajar. Demikian pula dalam hal perubahan standar kualifikasi dan sertifikasi guru, banyak guru yang memilih untuk menempuh dengan cara-cara instant, seperti menempuh studi lebih cepat dari yang seharusnya hanya untuk mendapatkan ijazah S1 sebagai standar kualifikasi akademik guru, atau membeli sertifikat-sertifikat pelatihan untuk bisa memenuhi cum untuk portofolio dalam sertifikasi guru. Proses instant yang dipilih oleh guru ini seolah mengabaikan arti penting dari proses dalam belajar dan mengukur pembelajaran hanya dari hasilnya saja, padahal idealnya yang terpenting dari pembelajaran adalah prosesnya. Maka tidak heran jika masih banyak guru di sekolah yang mengukur keberhasilan pembelajaran siswa di kelas lebih pada hasilnya (nilai ujian) ketimbang proses belajarnya sehari-hari.
Melihat kondisi di atas, ada baiknya kita bercermin pada organisasi Muhammadiyah dengan watak yang menjadi ciri dari organisasi tersebut yaitu tajdid, sebuah watak yang menuntut untuk selalu bersifat dinamis, progresif, melakukan pembaharuan dan perubahan untuk mampu beradaptasi dengan segala perkembangan zaman. Namun sayangnya, watak tajdid yang melekat pada Muhammadiyah belum banyak menginspirasi warganya -khususnya guru, untuk memiliki watak yang sama, yang mampu melakukan pembaharuan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Menurut Newstrom & Davis, terdapat beberapa alasan penolakan atau keengganan seseorang terhadap perubahan, di antaranya : (a) waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan diri, (b) upaya ekstra untuk belajar kembali, (c) kemungkinan timbulnya sesuatu yang tidak diinginkan, (d) kerugian ekonomi, (e) rendahnya toleransi terhadap perubahan, dan (f) kebutuhan akan rasa aman, sehingga cenderung menginginkan status quo. Alasan-alasan tersebut, diakui atau tidak memang sedang menyerang sebagian besar guru-guru di Muhammadiyah sehingga mereka enggan melakukan perubahan dan pembaharuan.
Untuk dapat menumbuhkan watak tajdid dalam diri guru Muhammadiyah ada banyak hal yang dapat dilakukan, di antaranya (1) senantiasa melakukan refleksi terhadap apa yang telah dilakukan di sekolah sebagai bentuk evaluasi untuk melihat kelebihan dan kekurangan dari apa yang telah dilakukan dan menjadikan aktifitas mengajar sebagai proses belajar bagi guru. (2) mengupdate ketrampilan dan kemampuan, baik dengan mengikuti pelatihan-pelatihan maupun menempuh studi lanjutan dengan proses yang seharusnya sebagai upaya peningkatan kualitas kerja. (3) beradaptasi dengan perkembangan zaman, salah satunya perkembangan teknologi. Guru harus mampu menguasai dan mengambil manfaat dari teknologi, minimal mampu mengakses internet, karena dari internet guru bisa mendapatkan berbagai referensi yang dapat digunakan baik sebagai bahan ajar, maupun dalam penentuan metode, strategi bahkan menjadikannya sebagai media pembelajaran. Jangan sampai guru kalah langkah dengan muridnya yang sudah mahir memanfaatkan internet untuk belajar. (4) melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaran, baik dari segi bahan ajar, metode, strategi maupun media, agar proses pembelajaran tidak berlangsung monoton dan membosankan bagi siswa, sehingga siswa lebih tertarik dan termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran.
Beberapa hal di atas akan terasa berat untuk dijalankan jika kesadaran akan arti penting perubahan belum tertanam dalam diri para guru di sekolah Muhammadiyah. Mari kita bercermin pada sekolah-sekolah Muhammadiyah yang berkualitas yang pastinya memiliki SDM -baik kepala sekolah, guru maupun karyawan, yang dinamis, inovatif, progresif dan mau berubah ke arah lebih baik, yang memahami betul akan arti tajdid sebagai ruh gerakan organisasi yang membesarkannya. Dengan spirit fastabiqulkhairat mari kita tumbuhkan watak tajdid dalam diri guru-guru Muhammadiyah agar pendidikan Muhammadiyah dapat mencapai tujuannya membentuk manusia muslim yang berkualitas.